Wednesday, October 30, 2013

Pengorbanan Cinta

Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalinya sebagai wanita mukminah lagi solehah juga telah mengambil tempat di 'hati'nya. Tentu sahaja bukan sebagai KEKASIH. Tetapi sebagai sebuah 'pilihan' dan pilihan yang dirasakan TEPAT. Pilihan menurut akal sihat. Dan pilihan menurut perasaan yang halus, juga roh yang suci.


Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalinya. Ia berfikir, melamar seorang gadis peribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada sahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’.


”Subhanallaah. . wal hamdulillaah. .”, girang Abu Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang solehah lagi bertaqwa.


”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar puteri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam loghat Bani Najjar yang paling murni.

”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua, sahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.

”Maafkan kami di atas terus-terang ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi kerana Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap redha Allah saya menjawab bahawa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawapan mengiyakan.”


Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada penghantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah kerana satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta & persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam HATI. Bayangkanlah sebentuk MALU yang menerpa dan bertemu dengan gelombang kesedaran; bahawa dia memang belum punya HAK apapun atas orang yang di'cintai'nya. Mari kita dengar ia bicara.


”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar & nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!” ???

 "Cinta tak harus MEMILIKI". Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini. Salman 'mengajar'kan kita untuk meraih kesedaran tinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih, merasa salah memilih penghantar –untuk tidak mengatakan ’merasa dikhianati’-, merasa berada di tempat yang keliru, di negeri yang salah, dan seterusnya. Ini tak MUDAH. Dan kita yang sering merasa memiliki orang yang kita cintai, mari belajar pada Salman. Tentang sebuah KESEDARAN yang kadangkala harus kita munculkan dalam 'situasi' yang tak mudah.

Kekuatan rasa ingin memiliki terkadang sangat MELEMASKAN.. Rasa memiliki seringkali membawa kita semua kpd KELALAIAN. Maka menjadi seorang manusia yang hakikatnya sebagai seorang hamba adalah BELAJAR untuk menikmati sesuatu yang bukan milik kita, sekaligus mempertahankan kesedaran bahwa kita hanya dipinjamkan. Inilah sukarnya. Tak seperti seorang tukang parkir yang hanya dititipi, kita diberi 'bekal' oleh Allah untuk mengkayakan nilai guna kurniaNya. Maka rasa memiliki terkadang menjadi sulit untuk ditepis..

Wallahu'alam





No comments:

Post a Comment